Beberapa hari lalu saya mendapatkan taujih yang sangat membekas dari seorang saudara yang ngebacain salah satu bab dalam buku
"Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda" , karya Ahmad Zairofi AM. Gak tau kenapa saya suka tiap rangkaian kata-katanya, dan sangat ngena dengan saya saat ini. Inilah petikan bab awal dari buku tersebut, moga juga dapat menginspirasi :)
HIDUP TAK MENGENAL SIARAN TUNDA
Setiap potongan waktu adalah momentum. Setiap penggal masa adalah kesempatan. Masing-masing punya fungsi dan karakternya. Hari Senin ini bukan hari Senin kemarin, meski namanya sama. Jum'at ini juga bukan Jum'at kemarin. Meski sama-sama Jum'at.
Potongan-potongan waktu itu tak semata cukup dipahami sebagai kumpulan menit atau jam, saat kita menyelesaikan kerja, menyempatkan tidur, istirahat, berolahraga, beribadah, bercengkrama dengan keluarga, bepergian atau melakukan kegiatan lainnya. Tak cukup hanya itu. Sepotong waktu adalah momentum. Semacam pelontar, yang bisa melontarkan diri ke puncak sukses, atau sebaliknya menjungkalkan kita ke jurang kegagalan.
Maka momentum hidup tak saja saat orang merayakan ulang tahunnya. Atau saat datang hari raya. Atau saat usianya telah menginjak dewasa. Atau saat baru saja lulus sekolahnya, kuliahnya. Atau saat perkawinannya telah berusia setengah abad. Itu semua bisa jadi momentum. Tapi hidup jauh lebih kaya. Ada berjuta momentum, jauh lebih banyak dari sekedar saat-saat datangnya momen perayaan seperti itu.
Pagi yang menyapa dalam hangatnya adalah momentum. Saat kita memulai hari baru. Adakah ini kita isi dengan kebajikan, ataukah dengan kekerdilan? Siang yang terik adalah momentum. Saat tepat kita mendinginkan diri kita melalui ibadah siang. Ada jeda untuk mengisi ulang spirit. Saat petang menjelang adalah momentum. Ketika kita mencoba mengakhiri penat. Bertanya kita pada jiwa, adakah hari ini kita telah berkarya? Malam yang sunyi adalah momentum. Saat kita menunduk dalam diam. Bertanya kita pada batin yang jujur, adakah hari ini telah kita lewati tangga-tangga menuju kebaikan hidup?