Wednesday, February 13, 2013

Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda

Beberapa hari lalu saya mendapatkan taujih yang sangat membekas dari seorang saudara yang ngebacain salah satu bab dalam buku "Hidup Tak Mengenal Siaran Tunda" , karya Ahmad Zairofi AM. Gak tau kenapa saya suka tiap rangkaian kata-katanya, dan sangat ngena dengan saya saat ini. Inilah petikan bab awal dari buku tersebut, moga juga dapat menginspirasi :)


HIDUP TAK MENGENAL  SIARAN  TUNDA

Setiap potongan waktu adalah momentum. Setiap penggal masa adalah kesempatan. Masing-masing punya fungsi dan karakternya. Hari Senin ini bukan hari Senin kemarin, meski namanya sama. Jum'at ini juga bukan Jum'at kemarin. Meski sama-sama Jum'at.

Potongan-potongan waktu itu tak semata cukup dipahami sebagai kumpulan menit atau jam, saat kita menyelesaikan kerja, menyempatkan tidur, istirahat, berolahraga, beribadah, bercengkrama dengan keluarga, bepergian atau melakukan kegiatan lainnya. Tak cukup hanya itu. Sepotong waktu adalah momentum. Semacam pelontar, yang bisa melontarkan diri ke puncak sukses, atau sebaliknya menjungkalkan kita ke jurang kegagalan.

Maka momentum hidup tak saja saat orang merayakan ulang tahunnya. Atau saat datang hari raya. Atau saat usianya telah menginjak dewasa. Atau saat baru saja lulus sekolahnya, kuliahnya. Atau saat perkawinannya telah berusia setengah abad. Itu semua bisa jadi momentum. Tapi hidup jauh lebih kaya. Ada berjuta momentum, jauh lebih banyak dari sekedar saat-saat datangnya momen perayaan seperti itu.

Pagi yang menyapa dalam hangatnya adalah momentum. Saat kita memulai hari baru. Adakah ini kita isi dengan kebajikan, ataukah dengan kekerdilan? Siang yang terik adalah momentum. Saat tepat kita mendinginkan diri kita melalui ibadah siang. Ada jeda untuk mengisi ulang spirit. Saat petang menjelang adalah momentum. Ketika kita mencoba mengakhiri penat. Bertanya kita pada jiwa, adakah hari ini kita telah berkarya? Malam yang sunyi adalah momentum. Saat kita menunduk dalam diam. Bertanya kita pada batin yang jujur, adakah hari ini telah kita lewati tangga-tangga menuju kebaikan hidup?

Begitulah dalam kelebat lajunya yang sangat cepat, waktu dan hidup memberi kita momentum. Bahkan pada detik-detiknya. Seperti kisah pengendara jalanan yang nyaris tewas, ketika ada sepotong momentum untuk menghindari kecelakaan. Maka sekian detik adalah nyawa. Setidaknya dalam hitungan manusia. Ia pun selamat. Setiap momentum punya fase tersendiri. Tak tergantikan oleh yang lain. Begitulah. Karena hidup memang tak mengenal siaran tunda. Apa yang jatahnya detik ini , berlaku pada hari ini. Tidak mungkin ditunda sampai besok.

Setiap waktu punya catatan nilai tersendiri. Di sisi Allah Yang Maha Melihat. Karya pada sebuah momentum, tidak saja dinilai dari karya itu sendiri. Tapi juga dari sisi pemanfaatan momentum tersebut. Bahwa kita tidak menyinyiakan kesempatan. Maka disinilah kita memahami, mengapa kelak, setiap manusia akan ditanya tentang waktu yang dilaluinya. Untuk apa dihabiskannya. Rasulullah bersabda, "Tidak akan melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya empat perkara. Usianya, untuk apa dia habiskan. Masa mudanya, bagaimana ia habiskan. Hartanya, darimana dan untuk apa ia keluarkan. Serta ilmunya, apa yang telah ia perbuat dengannya." (HR Al-Bazzar dan Thabrani).

Memang bukan waktu itu sendiri yang punya daya lempar dan kekuatan lontar. Tapi cara kita menggunakannya sebagai momentum. Cara kita menjadikan sepenggal kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Masalahnya, kita tidak pernah tau pada momentum yang mana kita akan sukses atau gagal. Maka, pada setiap momentum dan kesempatan itu kita seperti berjudi. Gagal atau sukseskah? Lancar atau tersendatkah?

Justru disinilah letak masalahnya. Seperti kematian yang sangat gelap tibanya, seperti itu pula arti momentum bagi perjalanan hidup kita. Kita tidak pernah tau, apakah sebuah keputusan pada sebuah momentum akan mengantarkan kita pada kebaikan yang berkesinambungan, pada kesuksesan dan kejayaan. Kita tidak akan pernah mengerti, pada momentum mana dari keseluruhan hidup ini, kita akan memulai kesuksesan. Atau sebaliknya, kita akan menuai kegagalan. Isyarat sukses dan gagal mungkin bisa dicerna pada aspek perencanaan hidup. Tapi tetap saja tak bisa dipastikan. Momentum hidup memberi kita arti penting sebuah kesempatan, yang menyambungkan dengan kesempatan lain. Itu sebabnya setiap kesempatan adalah momentum emas. Maka tak ada pilihan lain bagi kita, selain memandang sebuah momentum sebagai suatu yang penting. Setiap momentum itu istimewa. Setiap kesempatan itu berharga. Momentum dalam hidup seperti sebuah batu loncatan. Tempat kita menghentak untuk melompat lalu mendapatkan daya dorong baru, kekuatan baru dan menghasilkan karya baru.

Yang lebih penting dari itu semua, adalah memaknai seluruh rentang hidup ini sebagai momentum. Detik demi detik. Hari demi harinya. Orang yang hanya bergantung pada momentum-momentum seremonial yang langka, akan miskin kesempatan. Bila hanya ulang tahun saat untuk memperbaiki diri, alangkah sedikitnya kesempatan menjadi lebih baik. Bila hanya saat lulus sekolah untuk meningkatkan kualitas diri, alangkah miskinnya kita dari kesempatan untuk menjadi lebih baik.

Memaknai hidup seluruhnya sebagai momentum, adalah ruh dari kemengertian kita tentang arti kerugian, bila kita menyia-nyiakan hidup. Itulah yang bisa kita rasakan dari firman Allah surah Al-'Ashr ayat 1-3, "Demi Masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh, dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran."

Iman sebagai penolak kerugian, harus ada sepanjang hayat. Itulah fondasi utama dari seluruh momentum hidup. Amal shalih demikian juga. Karya itu harus sambung menyambung. Sementara nasehat-menasehati adalah semacam mekanisme recovery, di tengah perjalanan hidup yang kadang keliru. Maka nasehat adalah pengaruh, pembersih dari kesalahan, sekaligus penguat kesabaran.


Setiap kesempatan punya kadarnya sendiri. Seperti setiap zaman yang punya manusianya sendiri. Inti dari membangun kehidupan kita adalah hari ini. Hari inilah saat yang sesungguhnya. Saat kita menabung dan beramal shalih. Kemarin tidak mungkin datang lagi. Yang berlalu pasti sudah lewat. Tidak akan kembali lagi. Selama-lamanya. Sedang esok? Masih sangat gelap dan tidak pernah bisa kita duga. Karena itulah, Umar bin Khattab sangat marah bila ada orang yang mengisi hidupnya, tidak untuk dunia, tidak juga untuk akhirat. Beliau berkata, " Sesungguhnya aku benci jika melihat salah seorang di antara kalian berpangku tangan, tanpa amal, baik amal dunia maupun amal akhirat." Sebuah kebencian yang sangat beralasan. Ketika ada orang yang tak mengerti bahwa hidup keseluruhannya adalah momentum. Untuk kebahagiaan dunia maupun akhirat.

Selain itu, hidup sebagai momentum memberi bobot lain pada kualitas kita dalam menggunakan momentum itu. Tak sekedar mengisi dengan kesenangan, apalagi mengejar kesenangan duniawi semata. Ada banyak rahasia hidup yang tak tampak oleh mata. Maka Ibnul Qoyyim memberi nasehat, "Orang yang berakal mengerti bahwa dunia ini tidak diciptakan hanya untuk mencari kesenangan di dalamnya. Karenanya, dalam kondisi apapun ia harus konsisten dalam menggunakan waktunya secara tepat."

Ya, hanya orang berakal dan mau berfikir, merenung dan menghayati yang bisa merasakan, bahwa momentum-momentum hidup itu harus memberi kesempatan untuk lahirnya sosok muslim yang berkualitas. Setiap kali kita melewati sepotong waktu, serentang masa, kita harus mengerti bahwa itu adalah kesempatan yang sangat berharga. Itu adalah momentum yang bisa mengantarkan kita ke hamparan bahagia, atau himpitan sengsara. Semua terserah bagaimana kita menjalaninya. Setiap kali waktu datang meminta haknya, saat itu juga. Sebab hidup, tak mengenal siaran tunda. 

Living life to the fullest!

Para Kesatria Sunyi oleh Salim A. Fillah

Untuk mengawali tulisan-tulisan saya selanjutnya di blog ini, berikut merupakan kultweet yang saya ambil dari twitter Ustad @salimafillah,...